BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir
Surah Al-Hujurat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (1) يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ
أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ(2) إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ
أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ
قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (3)
Artinya:
1. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2.
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya
(suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.
3.
Sesungguhnya orang-orang
yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang
telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan
pahala yang besar.”
Dalam ayat ini Allah swt, mengajarkan beberapa tata
cara bersopan santun kepada hamba-hamba-Nya. Orang-orang mukmin, dalam mereka
bergaul dengan Rasulullah saw, maka ALLah berfirman. “janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya dalam segala sesuatu terutama menetapkan hukum sebelum ada
ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya, serta bertakwalah kepada Allah dalam segala
hal yang diperintahkan kepadamu, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Hamba yang beriman tidak boleh mendahului tuhan-nya
dalam masalah perintah dan larangan. Jangan memberi saran tentang hukum dan
keputusan. Jangan melampaui apa yang diperintahkan dan dilarangnya. Dan jangan
memberikan peluang kepada dirinya (hamba yang beriman) untuk berkehendak dan
berpendapat tentang makhluk-nya sebagai wujud ketakwaan dan ketakutan
terhadap-nya wujud rasa malu dan kesopanan kepada-nya.
Kedua Allah melarang orang-orang mukmin meninggikan suaranya melebihi suara
Nabi ataupun berbicara keras kepada Nabi sebagaimana mereka berbicara antara
sau dengan yang lain. Perbuatan yang kurang sopan terhadap Rasulullah itu dapat
menghapus pahala amal baik seseorang tanpa disadari.Ketiga Allah berfirman .
“Bahwa orang-orang yang merendahkan surany disisi Rasulullah saw, mereka itulah
yang telah diuji hatinya oleh Allh untuk bertakwa. Dan bagi mereka Allah
memberikan ampunan dan pahala yang besar.”
Pada ayat ketiga
kata يَغُضُّونَ terambil
dari kata غَضَّ yang pada dasarnya
tidak bermakna tidak menggukana semua potensi sesuatu. Jika kata ini dikaitkan
dengan pandangan mata, maka ia berarti tidak membelalakkan mata.
Suarapun demikian. Dengan demikian, ia tidak mempunyai ukuran tertentu. Tetapi
terpulang kepada masing-masing. Karena itu biar saja seseorang yang pada
dasarnya memiliki suara lantang telh dinilai melaksanakan tuntutan ini,
walaupun dalam kenyataan suaranya lebih keras dari pada suara orang lain yang
telah mengeraskan suaranya.
Pada ayat ini menunjukan sosok Nabi Muhammad saw, dengan kata
Rasul, sedang sebelumnya dengan kata Nabi. Keduanya mengisyaratkan bahwa
kedudukan beliau yang demikian terhormat sebagai perantara antara manusia
dengan Allah dalam penyampaian informasi dan tuntunannya, sehingga dengan
demikian sangat wajar jika manusia menghormati beliau. Dari sini pula dapat ditarik
kesimpulan tentang perluya memberi penghormatan yang sesuai dengan para pewaris
beliau yakni para ulama’ dan pengajar.
Kata امْتَحَنَ digunakan antara lain dari dalam arti membersihkan atau menguji.
Kata ini biasa digunakan untuk pandai emas yang membakar emas juga guna
membersihkan kadarnya dan mengetahui kualitasnya. Allah swt, membersihkan hati
manusia antara lain dengan meletakkan aneka kewajiban atau cobaan kepadanya,
sehingga hatinya menjadi bersih dan berkualitas tinggi. Dapat juga dipahami dlam
arti mengetahui.
إِنَّ الَّذِينَ
يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُون(4) وَلَوْ
أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ(5)
Artinya:
4. Sesungguhnya orang-orang
yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.
5. Dan kalau sekiranya
mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu adalah lebih
baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat ini Allah swt mencela sikap orang-orangyang kurang
sopan, yang memanggil-manggil Rasulullah di luar kamarnyaa dengan menyebut nama
beliau secara polos. “ya Muhammad ya Muhammad.” Mereka itu adalah orang-orang
yang tidak mengerti. Allah berfirman, karena orang yang erbuat demikian itu
kebanyakan orang-orang Badui yang datang dari dusun-dusun dan daerah-daerah
pegunungan. Allah swt mengajarkan mereka sekiranya bersabar menanti hal
Muhammad keluar. Maka sikap yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih
sesuai dengan kedudukanmu sebagai Rasul dan pemimpin mereka. Dan dala Allah
yang Maha Pengampun lagi maha penyayang.
Ayat di atas turun menegur sekelompok dari Bani Tamim yang datang
mengahadap Nabi saw. Pada tahun IX H. Mereka berjumlah tujuh puluh orang atau
lebih. Mereka datang di siang hari bolong sambil berteriak dri luar kamar Nabi
saw. Sambil berkata: “Hai Muhammad keluarlah menemui kami, memuji kami adalah
baik dan mencela kami adalah buruk.”
padahal melayani tamu-tamu itu yang kemudian berkata: ”Kami datang untuk
bermusabaqah denganmu. Izinkanlah kami memeperdengarkan kepadamu penyair dan
khatib kami.” Rasul mengizinkan mereka, lalu menugaskan sahabat dan penyair Nai
saw. Hassan ibn Tsabit untuk mendampingi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan
bahwa mereka datang untuk menebus keluarga mereka yang ditawan yang jumlahnya
sebelas orang laki-laki, sebelas orang perempuan, serta tiga puluh orang
anak-anak.
Firman-Nya: يُنَادُونَكَ berbentuk kata kerja masa kini yang bertujuan menghadirkan ke
benak mitra bicara dan pendengar keburukan kelakuan mereka yang memanggil
dengan suara nyaring serta pada saat istirahat itu. Bentuk jamak yang digunkan,
boleh jadi karea mereka berteriak-teriak, atau kalau seorang saja yang dalam riwayat
disebut namanya yakni al-Aqra ‘ibn Habis, maka suaranya yang sedemikian keras
menyerupai suara orang banyak, atau karena ulahnya itu disetujui orang banyak.
Memang pastilah ada yang tidak setuju dengan cara tersebut, namunn jumlah
mereka sedikit, dan karena itu pula ayat 4 diatas menyatakan kebanyakan
mereka tidak mengerti.
Kata حجرات hujurat adalah
bentuk jamak dari kata حُجْرَة hujrah yang
artinya kamar. Maksudnya adalah kamar-kamar istri Nabi saw. Ayat di atas
tidak menyebut secara tegas bahwa kamar-kamar tempat kediaman istri-istri Nabi sebagai
penghormatan kepada beliau dengan tidak menyinggung istri-istri tersebut.
Ketika itu ada sembilan kamar di samping masjid Nabawi, salah satunya menjadi
makam bersama Abu Bakar ra. Dan ‘Umar ra. Karena seperti diketahui Nabi saw.
Dimakamkan di tempat beliau wafat. Tempat pembaringan digeser untuk dijadikan
makam, berdasarkan penyampaian Sayyidina Abu Bakar bahwa Nabi bersabda
“Nabi-nabi yang diutus Allah di makamkan ditempat mereka wafat.
Penggunaan bentuk jamak
untuk kata kamar-kamar bertujuan mengisyaratkan bahawa suara tersebut
begitu keras sehingga terdengar di seluruh kamar, atau bahwa kelompok yang
datang itu berpencar masing-masing memanggil Nabi saw dri kesemilan kamar yang
ada.
Dirwayatkan dari Amirul
Mu’minin Umar ibnul Khaththab bahwa dia mendengar dua orang laki-laki bersuara
keras di masjid Nabi saw. Umar menghampirinya dan berkata, “Tahukah kamu di
mana kamu berada?” lalu Umar bertanya “Dari mana kmu?” keduanya menjawab, “dari
Tha’if” Umar berkata, “Andai kamu penduduk Madinah, niscaya kupukul dengan
keras.”
Para ulama’ menegaskan
bahwa dimakruhka mengeraskan suara di dekat pusar Nabi saw, sebagaimana hal itu
dimakrukan tatkala beliau hidup. Hal ini untuk memuliakan dalam segala hal.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ(6) وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ
يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الأمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ
إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ
وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ(7) فَضْلا مِنَ اللَّهِ
وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ(8)
Artinya:
6. Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
7. Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan
kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan
benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta
kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan
kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus,
8.
sebagai
karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Pada
ayat diatas kata إنّ yang artinya jika yang
biasa digunkan untuk sesatu yang di ragukan atau jarang terjadi. Ini
mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada orang-orang beriman itu
diragukan atau jaarang terjadi. Hal itu disebabkan karena orang-orang fasik
mengetahui bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan bahwa mereka akan
meneliti kebenaran setiap informasi, sehingga sang fasik dapat dipermalukan
dengan kebohonganya.
Kata
( فا سق ) fasiq terambil dari kata فسق ) (fasaqa yang biasa digunakan untuk melukiska buah yang rusak atau terlalu
matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah orang yang
dari koridor agama, akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa
kecil.
Kata
نبأ ) ( naba’ digunakan dalam arti berita
yang penting. Berbeda dengan kata ( خبر ) khabara yang berarti kabar secara umum, baik penting maupun tidak dari
sini terlihat perlunya memilih informasi. Apakah itu penting atau tidak, dan
memilah pula pembawa informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman
tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari siapapun yang tidak
penting, bahkan di dengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak
energi yang dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.
Kata
( بجها لة ) bi jahalah
dapat berarti tidak mengetahui, dan dpat juga diartikan serupa dengan
makna kejahilan, yakni perilaku seseorang yang kehilnga kontrol dirinya sehingga
melakukan hl-hal yang tidak wajar baik atas dorongan nafsu, kepentingan
sementara ataupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti
mengabaikan nilai-nilai ajaran ilahi.
Kata
( عنتّم ) ‘anittum ter ambil dari kata ( العنت ) ‘anat yakni ke tidak seimbangan sesuatu masa kini
atau masa datang. Dan tentu saja hal tersebut mengakibatkan kesulitan bahkan
mengundang bencana.
Kata
( الرّاشدون ) ar-rasyidun terambil dari kata ( رشد ) rusyd yang
makna dasarnya adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini
lahir kata rusyd bagi manusia maknanya adalah kesempurnaan akal dan
jiwa, yang menjadikanny mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Mursyid
adalah pemberian petunjuk/ bimbingan yang tepat. Orang yang telah menyandang
sifat itu secara sempura dinamai rasyid, yang oleh imam ghazali
diartikan sebagai dia yang mengalir penanganan dan usahanya ketujuan yang
tepat, tanpa harus dibimbing.
Allah
swt berfirman dalam ayat ini memperingatkan orang-orang mukmin agar
berhati-hati, jika seorang fasi datang membawa berita janganlah bergesa-gegas
mempercayainya, tetapi hedaklah diteliti dan diselidiki kebenarannya supaya
tidak ada pihk atau kaum yang diragikan, ditimpa musibah atau bencana yang
disebabkan berita yag belum pasti kebenarannya, sehingga menyebabkan penyesalan
yang semestinya tidak terjadi. Dan ketahuilah bahwa ada rasullullah di tengah-tengah
kamu yang sepatutnya kamu hormati, muliakan, menaati perintah-perintahnya dan
menjauihi larangan-laragannya kerena beliau lebih mengetahui tentang
kepentingan dan maslahatanmu daripada dirimu sendiri, lebih sayang kepadamu
daripada siaapaa pun dan andaikan dia menuruti kemaumanmu dalam berbagai urusan
dan mengikuti kemaumanmu dalam berbagai urusan dan mengikuti pendapatmu dalam
banyak hal, niscaya kamu akan menemui kesusahan dan kerugian.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي
تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ(9) إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(10)
Artinya:
9. Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
10. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Ayat
diatas memrintahkan untuk melakukan ishlah sebanyak dua kali. Tetapi yang kedua
dikaitkan dengan kata ( با لعد ل ) bi
al-‘adl/dengan adil. Ini bukan berarti bahwa perintah ishlah yang
pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja pada yang kedua itu di
tekakan lebih keras lagi karea yang telah didahului oleh tindakan terhadap
kelompok yang enggan menerima ishlah yang pertama. Dalam menindak itu
bisa jadi terdapat hal-hal yang menyinggug parasaan atau bahkan mengganggu
fisik yang melakukan ishlah itu, sehingga jika ia tidak berhati-hati
dapat saja lahir ketidak adilan dari yang bersangkutkan akibat gangguan yang
dialaminya pada upaya ishlah yang pertama. Dari sisi ayat di atas
menyebut secara tegas perintah berlaku adil itu.
Kata
(المقسطين ) al muqsitin terambil dari kata ( قسط) qisth yang juga biasa di artikan adil. Sementara ulama
mempersamakan makan dasar (قسط ) qisth dan (عدل)‘adl, dan
ada juga yang memedakanya dan berkata bahwa al-qisth adalah keadilan
yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka
semua senang. Sedangkan ‘adl adalah menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak.
Kata
( إ نّما ) innama digunakan untuk membatasi sesuatu. Disini kaum beriman dibatasi
hakikat hubungan antara mareka persaudaraan. Seakan-akan tidak ada
jalinan hubungan antar mereka kacuali persaudaraan itu. Kata innama
biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu
hal yang demikian itu adanya dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik.
Penggunaan kata innama dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan
antara sesama mukmin ini, mengisyaratkan ahwa sebenarnya semua pihak
telah mengetahui secara pasti bahwa kaum beriman bersaudara, sehingga
semestinya tidak terjadi dari pihak mana pun hal-hal yang menganggu
persaudaraan itu.
Kata
( إخوة ) ikhwah adalah bentuk jamak dari kata ( أخ
) akh, yang dalm kamus-kamus bahasa sering kali diterjemahkan saudara
atau sahabat. Kata ini pada mulanya berarti yang sama. Persamaan
dalam garis keturunan mengakibatkan persaudaraan, demikian juga persamaan dalm
sifat atau bentuk apapun. Persamaan kelakuan pemboros dengan setan, menjadiakan
pemboros adalah saudara-saudara setan (baca QS. Al-isra’ [17]: 27). Persamaan
dalam kesukuan atau kebangsan pun mengakibatkan persaudaraa (baca QS. Al-A’raf
[7]: 65). Dan juga persaudaraan kerena persamaan kemakhlukan, seperti ketika
Nabi Muhammad saw. Menamakan jin adalah saudara-saudara manusia. Beliau
melarang menjadikan tulang sebagai alat beristinja’ karena itu adalah
makanan-makanan saudara-saudara kamu dari jeis jin. Demikin sabda beliau.
Kata
( أخ ) akh yang
berbentuk tunggal itu, biasa juga dijamak dengan kata ikhwan. Bentuk
jamak ini biasanya menunjukan kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda
dengan kata ikhwah yang hanyan terulang tujuh kali dalam al Qur’an,
kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan seketurunan, kecuali ayat al
Hujurat diatas. Hal ini agaknya untuk mengisaratkan ahwa persaudaraan yang
terjalin antara sesama muslim, adalah persaudarann yang dasarnya berganda.
Sekali atas dasar persamaan iman, dan kali kedua adalah persaudaraan
seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan
demikian tidak ada alasan untuk memutuskan huungan persaudaraan itu. Ini
lebih-lebih lagi jika masih direkat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita,
sebahasa, senasib dan sepenang-gungan.
Ayat
diatas mengisaratkan dengan sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan, serta
hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan
limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan
hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka, yang pada puncaknya dapat
melahirkan pertumpahan darah dan perang saudara sebagaimana difahami dari kata qital
yang puncakya adalah peperangan.
Allah
swt. Berfirman bahwa jika ada dua golongan orang mukmin berperang, hendaklah
didamaikan. Jika salah satu di antara golongan itu berbuat aniaya dan
mendzalimi golongan yang lain, maka perangilah golongan yang dzalim berbuat
aniaya itu sampai mereka kembali kepadaa perintah Allah dan meghentikan
kedzaliman dan penganiayaan-nya.dan jika mereka telah menyadari akan
kesalahannya da kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah kedua golongan
itu dengan adil, karena sesungguhnya Allah menyukai oang-orang yang berlaku
adil. Dan sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah sesaudara, maka hendaklah
di damaikan antara dua saudara sesama mukmin jika mereka berselisih,
bertengkar, atau berkelahi. Dan bertakwalah kepaada Allah, agar dengan takwa
itu kamu memperoleh rahmat-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى
أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ
بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ(11)
Artinya:
11. Hai orang-orang yang
beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi
mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan
jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh
jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka
itulah orang-orang yang alim.
Kata ( يسخر) yaskhar/
mengolok-olokkan yaitu menyebut kekurangan pihak laindengan tujuan
menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah
laku.
Kata ( قوم ) qaum biasa digunakan untuk menunjuk kelompok laki-laki
saja, karena aayat di atas menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita
dapat saja masuk dalam pengertian qaum. Bila ditinjau dari penggunaan
sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mukminun
dapat saja tercakup di dalamnya al-mukminat/ wanita-wanita mukminah.
Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata ( نساء ) nisa’/ perempuan karena ejekan dan merumpi
lebih banyak terjadi dikalangan perempuan di bandingan kalangan laki-laki.
Kata ( تلمزوا ) talmizu terambil dari kata (اللمز ) al-lamz.
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Ibn ‘Asyur misalnya
memahaminya dalam arti dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang
diejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu bentuk kekurangajaran dan
penganiayannya.
Kata تنابزوا ) ( tanabaza teramil dari kata(النبذ) an-Nabz
yakni gelar buruk. At-tabuz adalah salaing memberi gelar yag buruk.
Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal balik,
berbeda dengn larangan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja kerena
at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar
buruk biasanya disampaikan secara terang-terngan dengan memanggil yang
bersangkutan. Hal ini megundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk
itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk,
sehingga terjadi tanabuz.
Kata ( الإ سم) al isim
yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan.
Dengan demikian ayat diatas bagikan menyatakan: “seburuk-buruk sebutan adalah
menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia
disifati dengan sebutan yang mengndug makna kefasikan ertentangan dengan sifat
keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang
memahami kata al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini
berarti:seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandarkan kepada seseorang
setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah
dilakukannya.” Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pembobol bank atau pencuri dan lain-lain.
Allah swt berfirman melarang hamba-hamba Nya orang-orang mukmin
saling mengolok-olokkan, hina menghina dan cela mencela. Jaganlah suatu kaum di
antaramu mengolok-olokkan, menghina dan menganggap rendah kaum yang lain,
karena kemungkinn kamu yang dihina dan diperolokkan itu lebih baik dari pada
kaum yang megolok-olok, dan belum tentu bahwa yang mengolok-olok itu lebih baik
dari pada orang yang diolok-olok.
Denikian pula diantara wanita-wanita yang beriman janganlah
sekali-kali berolok-olok dan saling menghina di antara sesama wanita mukmin.
Allah swt melarang juga dalam ayat ini mencela diri sendiri dengan mencela
sesama saudara mukmin. Dan juga janganlah kamu saling memanggil dengan
gelar-gelar buruk yang tidak digunakan dalam panggilan-panggilan di waktu jahiliyah,
yang masih digunkan juga sesudah orang beriman. Dan barag siapa tidak bertobat,
maka ia termasuk orang-orang yang dzolim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ(12)
Artinya:
12. Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu
adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebahagian kamu menggunjing sebahagian
yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Kata ( إجتنبوا ) ijtanabu terambil dari kata (جنب) janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti
menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata terseut diartikan jauhi.
Penamahan huruf (ت) ta
pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan kata ijtanabu
berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk meng-hindari
prasangka buruk.
Kata (كثيرا) katsir(an) / banyak bukan berarti kebanyakan sebagaiman difahami atau
diterjemahkan sementara penerjemah. Tiga dari sepuluh adalah banyak, dan enam
dari sepuluh adalah kebanyakan. Jika demikian, bisa saja banyak dari
dugaan adalah dosa dan banyak pula bukan dosa. Yang bukan dosa adalah
indikatornya demikian jelas, sedang dugaan yang dosa adal dugaan yang tidak
memiliki indikator yang dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu
yang diharamkan, baik dalam betuk ucapan maupun perbuatan. Termasuk juga dugaan
yang bukan dosa adalah rincian hukum-hukum keagamaan. Pada umumnya kata lain kebanyakan
dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya
bersifat dugaan zhanniy, dan tentu saja apa yang berdasarkan dugaan
hasilnya pun dugaan.
Ayat ini menegaskan jalinan lain pada masyarakat yang utama lagi
mulia ini seputar kemuliaan individu, kehormatannya, dan kebebasannya sambil
mendidik manusia dengan ungkapan yang menyentuh dan menajubkan tentang cara
membersihkan perasaan dan kalbunya. Ayat di atas juga menegaskan bahwa
segian dugaan adalh dosa yakni dugaan yng tidak mempuyai dasar yang kuat.
Bisanya dugaan yang tidak mempunyai dasar dan bisa mengakibatkan dosa adalah
dugaan buruk terhadap pihak lain. Ini berarti ayat di atas melarang melakukan
dugaan uruk yang tanpa dasar, karena ia dapat menjerumuskan seseorang kedalam
dosa.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(13)
Artinya:
13.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kata (شعوب)syu’ub adalah bentuk jamak daari kata (شعب) sya’b. Kata ini biasa digunakan untuk menunjukan kumpulan dari sekian (قبيله) qabilah
yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek qabilah/suku
pun terdiri dari sekian banyak kelompok
keluarga yang dinamai (عماره) ‘imarah, dan yang ini terdiri lagi sekian banyak kelompok yang dinamai (بطن) bathn. Dibawah bathn ada sekian (فخذ) fakhdz hingga akhirnya sampi pada himpunan keluarga yang terkecil.
Terlihaat dari penggunaan kata syabbahwa ia bukan menunjuk kepada
pengertian bangsa sabagaimana dipahami dewsa ini.
Kata (تعارفوا) ta’arafu
terambil dari kata (عرف) ‘arafa
yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung
makna timbal balik, denga demikian ia berarti salin mengenal. Kata أكرمكم)) akramakum terambil dari kata كرم ) ) karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan
istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik terhadap Allah, dan terhadap
sesama makhluk.
Penutup pada ayat ini ( إنّ الله عليم خبير ) inna Allah ‘Alim(un) khabir/sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal yakni menggambung dua sifat Allah yang bermakna mirip itu, hanya
ditemukan tiga kali dalam Al-Quran. Konteks ketiganya adalah pada hal-hal yang
mustahil, atau amat sangat sulit diketahui manusia.
Allah swt berfirman bahwasanya dia telah menciptakan manusia dari
seorang laki-laki, ialah Adam dan seorang perempuan ialah Hawa. Kemudian
menjadikan umat manusia berpecah-pecah menjadi bangsa-bangsa dan dari bangsa
berpecah menjadi suku-suku, dengan demikian supaya mereka saling mengeal. Dan
sesungguhnya umat manusia itu adalah sama dihadapan Allah, tiada suatu bangsa
mempunyai kelebihn dengan yang lain, semuanya adalah sama-sama anak cucu Adam.
Dan yang paling mulia disisi Tuhan adalah yang palik bertakwa. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Menegnal.
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا
أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا
اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (14)
Artinya:
14. Orang-orang Arab Badui
itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka):
"Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk",
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Kata (لماّ) lamma
digunakan untuk menfikan sesuatu pada saat pengucapannya, tetapi diharapkan apa
yang dinafikan itu akan terjadi pada masa datang. Karena itu ayat di atas
mengisyaratkan bahwa kendati sekarang mereka beum beriman secara mantap, namun
dimasa datang mereka akan beriman dengan baik.
Kata (يلتكم) yalitkum terambil dari kata (لات) lata yang berarti kurang kata ini berbentuk tunggal, walau kata
sebelumnya berbentuk dual yakni Allah dan Rasul-Nya. Ia berbentuk menyangkut
ganjaran dan siksa hanya Allah swt, seata-mata Rasul saw tidak memiliki wewenang
sedikitpun dalam hal ini.
Ayat ini dijadikan dasar oleh sementara ulama untuk menunjukan
perbedaan antara islam da iman. Islam adalah sesuatu yang bersemai didalam
hati, menyangkut apa yang disampaikan oleh Nabi saw, sedangkan iman merupakan
sesuatu yang nampak pada ucapan dan perbuatan. Islam dalah ketundukn lidah
dengan mengucapkan dua kalimat syahadat serta ketundukan anggota tubuh dengan
mengamalkan perintah Allah , baik ucapan dan pegamalan itu sesuai dengan isi
hati maupun tidak. Siapa yang telah mengucapkan dua klimat syahadat, maka ia
secara lahiriah telah dinamai muslim dan
memperoleh hak-haknya untuk hidup damai didunia ini.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ(15) قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ
بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم(16)
Artinya:
15. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.
16. Katakanlah (kepada
mereka): "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu
(keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Ayat ini menjelaskan siapa yang benar-benar sempurna imannya.
Allah berfirman: sesungguhnya orang-orang mukmin yang sempurna imannya hanyalah
orang-orang yang beriman kepada Allah yang meyakini semua sifat-sifatnya dan
menyaksikan kebenara Rasul-Nya dalam segala apa yang disampaikannya kemudia
walau berlanjut masa yang berkepanjangan, hati mereka tidk disentuh oleh ragu
walau mereka mengalami aneka ujian dan bencana dan disampig sifat batiniah itu
mereka juga membuktikan kebenaraan dengan iman mereka melalui berjihad yakni
berjuang membela kebenaran dengan mengorbankan hati dan jiwa merea pada jalan
Allah, mereka itulah orang-orang yang benar dalam ucapan dan perbuatan mereka.
يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لا تَمُنُّوا عَلَيَّ
إِسْلامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلإيمَانِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ(17) إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ(18)
Artinya:
17. Mereka merasa telah
memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah
kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah
Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan
jika kamu adalah orang-orang yang benar".
18. Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.
Pengakuan orang-orang Badui yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad saw bertujuan menyebut-nyebut jasa mereka dengan dalih bahwa
mereka telah beriman dan mengikuti Nabi saw. Ayat diatas meluruskan anggapan
itu dengan mengatakan bahwa: mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu
wahai Nabi Muhammad dengan keislaman yakni penyerahan mereka. Katakanlah:
janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kamu,
sebaba manfaat keislman itu bukan kepadaku tetapi kepada diri kamu sendiri dan sebenarnya
Allah yang senantiasa melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki
yakni menjelaskan menganugerahkan kamu kemampuan menuju kepada
keimanan jika memang kamu adalah orang-orang yang benar dalam
uacapan kamu bahwa kamu telah beriman.”sesungguhnya Allah senantiasa
mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dn Allah Maha Melihat apa yang
kamu Senantiasa kerjakan.



