Kamis, 16 April 2015

tafsir surah al hujurat



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tafsir Surah Al-Hujurat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (1) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ(2) إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (3)
Artinya:
1.     Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2.      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.
3.      Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Dalam ayat ini Allah swt, mengajarkan beberapa tata cara bersopan santun kepada hamba-hamba-Nya. Orang-orang mukmin, dalam mereka bergaul dengan Rasulullah saw, maka ALLah berfirman. “janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam segala sesuatu terutama menetapkan hukum sebelum ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya, serta bertakwalah kepada Allah dalam segala hal yang diperintahkan kepadamu, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Hamba yang beriman tidak boleh mendahului tuhan-nya dalam masalah perintah dan larangan. Jangan memberi saran tentang hukum dan keputusan. Jangan melampaui apa yang diperintahkan dan dilarangnya. Dan jangan memberikan peluang kepada dirinya (hamba yang beriman) untuk berkehendak dan berpendapat tentang makhluk-nya sebagai wujud ketakwaan dan ketakutan terhadap-nya wujud rasa malu dan kesopanan kepada-nya.
Kedua Allah melarang orang-orang  mukmin meninggikan suaranya melebihi suara Nabi ataupun berbicara keras kepada Nabi sebagaimana mereka berbicara antara sau dengan yang lain. Perbuatan yang kurang sopan terhadap Rasulullah itu dapat menghapus pahala amal baik seseorang tanpa disadari.Ketiga Allah berfirman . “Bahwa orang-orang yang merendahkan surany disisi Rasulullah saw, mereka itulah yang telah diuji hatinya oleh Allh untuk bertakwa. Dan bagi mereka Allah memberikan ampunan dan pahala yang besar.”
Pada ayat ketiga  kata يَغُضُّونَ terambil dari kata غَضَّ yang pada dasarnya tidak bermakna tidak menggukana semua potensi sesuatu. Jika kata ini dikaitkan dengan pandangan mata, maka ia berarti tidak membelalakkan mata. Suarapun demikian. Dengan demikian, ia tidak mempunyai ukuran tertentu. Tetapi terpulang kepada masing-masing. Karena itu biar saja seseorang yang pada dasarnya memiliki suara lantang telh dinilai melaksanakan tuntutan ini, walaupun dalam kenyataan suaranya lebih keras dari pada suara orang lain yang telah mengeraskan suaranya.
Pada ayat ini menunjukan sosok Nabi Muhammad saw, dengan kata Rasul, sedang sebelumnya dengan kata Nabi. Keduanya mengisyaratkan bahwa kedudukan beliau yang demikian terhormat sebagai perantara antara manusia dengan Allah dalam penyampaian informasi dan tuntunannya, sehingga dengan demikian sangat wajar jika manusia menghormati beliau. Dari sini pula dapat ditarik kesimpulan tentang perluya memberi penghormatan yang sesuai dengan para pewaris beliau yakni para ulama’ dan pengajar.
Kata امْتَحَنَ digunakan antara lain dari dalam arti membersihkan atau menguji. Kata ini biasa digunakan untuk pandai emas yang membakar emas juga guna membersihkan kadarnya dan mengetahui kualitasnya. Allah swt, membersihkan hati manusia antara lain dengan meletakkan aneka kewajiban atau cobaan kepadanya, sehingga hatinya menjadi bersih dan berkualitas tinggi. Dapat juga dipahami dlam arti mengetahui.
إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُون(4) وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ(5)
Artinya:
4.     Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.
5.     Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat ini Allah swt mencela sikap orang-orangyang kurang sopan, yang memanggil-manggil Rasulullah di luar kamarnyaa dengan menyebut nama beliau secara polos. “ya Muhammad ya Muhammad.” Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti. Allah berfirman, karena orang yang erbuat demikian itu kebanyakan orang-orang Badui yang datang dari dusun-dusun dan daerah-daerah pegunungan. Allah swt mengajarkan mereka sekiranya bersabar menanti hal Muhammad keluar. Maka sikap yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih sesuai dengan kedudukanmu sebagai Rasul dan pemimpin mereka. Dan dala Allah yang Maha Pengampun lagi maha penyayang.
Ayat di atas turun menegur sekelompok dari Bani Tamim yang datang mengahadap Nabi saw. Pada tahun IX H. Mereka berjumlah tujuh puluh orang atau lebih. Mereka datang di siang hari bolong sambil berteriak dri luar kamar Nabi saw. Sambil berkata: “Hai Muhammad keluarlah menemui kami, memuji kami adalah baik dan mencela kami adalah buruk.”  padahal melayani tamu-tamu itu yang kemudian berkata: ”Kami datang untuk bermusabaqah denganmu. Izinkanlah kami memeperdengarkan kepadamu penyair dan khatib kami.” Rasul mengizinkan mereka, lalu menugaskan sahabat dan penyair Nai saw. Hassan ibn Tsabit untuk mendampingi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka datang untuk menebus keluarga mereka yang ditawan yang jumlahnya sebelas orang laki-laki, sebelas orang perempuan, serta tiga puluh orang anak-anak. 
Firman-Nya: يُنَادُونَكَ berbentuk kata kerja masa kini yang bertujuan menghadirkan ke benak mitra bicara dan pendengar keburukan kelakuan mereka yang memanggil dengan suara nyaring serta pada saat istirahat itu. Bentuk jamak yang digunkan, boleh jadi karea mereka berteriak-teriak, atau kalau seorang saja yang dalam riwayat disebut namanya yakni al-Aqra ‘ibn Habis, maka suaranya yang sedemikian keras menyerupai suara orang banyak, atau karena ulahnya itu disetujui orang banyak. Memang pastilah ada yang tidak setuju dengan cara tersebut, namunn jumlah mereka sedikit, dan karena itu pula ayat 4 diatas menyatakan kebanyakan mereka tidak mengerti.
Kata حجرات hujurat adalah bentuk jamak dari kata حُجْرَة hujrah yang artinya kamar. Maksudnya adalah kamar-kamar istri Nabi saw. Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa kamar-kamar tempat kediaman istri-istri Nabi sebagai penghormatan kepada beliau dengan tidak menyinggung istri-istri tersebut. Ketika itu ada sembilan kamar di samping masjid Nabawi, salah satunya menjadi makam bersama Abu Bakar ra. Dan ‘Umar ra. Karena seperti diketahui Nabi saw. Dimakamkan di tempat beliau wafat. Tempat pembaringan digeser untuk dijadikan makam, berdasarkan penyampaian Sayyidina Abu Bakar bahwa Nabi bersabda “Nabi-nabi yang diutus Allah di makamkan ditempat mereka wafat.
Penggunaan bentuk jamak untuk kata kamar-kamar bertujuan mengisyaratkan bahawa suara tersebut begitu keras sehingga terdengar di seluruh kamar, atau bahwa kelompok yang datang itu berpencar masing-masing memanggil Nabi saw dri kesemilan kamar yang ada.
Dirwayatkan dari Amirul Mu’minin Umar ibnul Khaththab bahwa dia mendengar dua orang laki-laki bersuara keras di masjid Nabi saw. Umar menghampirinya dan berkata, “Tahukah kamu di mana kamu berada?” lalu Umar bertanya “Dari mana kmu?” keduanya menjawab, “dari Tha’if” Umar berkata, “Andai kamu penduduk Madinah, niscaya kupukul dengan keras.”
Para ulama’ menegaskan bahwa dimakruhka mengeraskan suara di dekat pusar Nabi saw, sebagaimana hal itu dimakrukan tatkala beliau hidup. Hal ini untuk memuliakan dalam segala hal.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ(6) وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الأمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ(7) فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ(8)
Artinya:
6.     Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
7.     Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus,
8.     sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Pada ayat diatas kata إنّ  yang artinya jika yang biasa digunkan untuk sesatu yang di ragukan atau jarang terjadi. Ini mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada orang-orang beriman itu diragukan atau jaarang terjadi. Hal itu disebabkan karena orang-orang fasik mengetahui bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti kebenaran setiap informasi, sehingga sang fasik dapat dipermalukan dengan kebohonganya.
Kata ( فا سق ) fasiq terambil dari kata فسق )  (fasaqa yang biasa digunakan untuk melukiska buah yang rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah orang yang dari koridor agama, akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil.
Kata نبأ ) ( naba’ digunakan dalam arti berita yang penting. Berbeda dengan kata ( خبر ) khabara yang berarti kabar secara umum, baik penting maupun tidak dari sini terlihat perlunya memilih informasi. Apakah itu penting atau tidak, dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari siapapun yang tidak penting, bahkan di dengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi yang dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.
Kata ( بجها لة ) bi jahalah dapat berarti tidak mengetahui, dan dpat juga diartikan serupa dengan makna kejahilan, yakni perilaku seseorang yang kehilnga kontrol dirinya sehingga melakukan hl-hal yang tidak wajar baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara ataupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran ilahi.
Kata ( عنتّم ) ‘anittum ter ambil dari kata ( العنت )   ‘anat  yakni ke tidak seimbangan sesuatu masa kini atau masa datang. Dan tentu saja hal tersebut mengakibatkan kesulitan bahkan mengundang bencana.
Kata ( الرّاشدون ) ar-rasyidun terambil dari kata ( رشد ) rusyd yang makna dasarnya adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rusyd bagi manusia maknanya adalah kesempurnaan akal dan jiwa, yang menjadikanny mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Mursyid adalah pemberian petunjuk/ bimbingan yang tepat. Orang yang telah menyandang sifat itu secara sempura dinamai rasyid, yang oleh imam ghazali diartikan sebagai dia yang mengalir penanganan dan usahanya ketujuan yang tepat, tanpa harus dibimbing.
Allah swt berfirman dalam ayat ini memperingatkan orang-orang mukmin agar berhati-hati, jika seorang fasi datang membawa berita janganlah bergesa-gegas mempercayainya, tetapi hedaklah diteliti dan diselidiki kebenarannya supaya tidak ada pihk atau kaum yang diragikan, ditimpa musibah atau bencana yang disebabkan berita yag belum pasti kebenarannya, sehingga menyebabkan penyesalan yang semestinya tidak terjadi. Dan ketahuilah bahwa ada rasullullah di tengah-tengah kamu yang sepatutnya kamu hormati, muliakan, menaati perintah-perintahnya dan menjauihi larangan-laragannya kerena beliau lebih mengetahui tentang kepentingan dan maslahatanmu daripada dirimu sendiri, lebih sayang kepadamu daripada siaapaa pun dan andaikan dia menuruti kemaumanmu dalam berbagai urusan dan mengikuti kemaumanmu dalam berbagai urusan dan mengikuti pendapatmu dalam banyak hal, niscaya kamu akan menemui kesusahan dan kerugian.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ(9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(10)
Artinya:
9.     Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
10.  Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Ayat diatas memrintahkan untuk melakukan ishlah sebanyak dua kali. Tetapi yang kedua dikaitkan dengan kata ( با لعد ل ) bi al-‘adl/dengan adil. Ini bukan berarti bahwa perintah ishlah yang pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja pada yang kedua itu di tekakan lebih keras lagi karea yang telah didahului oleh tindakan terhadap kelompok yang enggan menerima ishlah yang pertama. Dalam menindak itu bisa jadi terdapat hal-hal yang menyinggug parasaan atau bahkan mengganggu fisik yang melakukan ishlah itu, sehingga jika ia tidak berhati-hati dapat saja lahir ketidak adilan dari yang bersangkutkan akibat gangguan yang dialaminya pada upaya ishlah yang pertama. Dari sisi ayat di atas menyebut secara tegas perintah berlaku adil itu.
Kata (المقسطين  ) al muqsitin terambil dari kata (  قسط) qisth yang juga biasa di artikan adil. Sementara ulama mempersamakan makan dasar (قسط ) qisth dan  (عدل)‘adl, dan ada juga yang memedakanya dan berkata bahwa al-qisth adalah keadilan yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Sedangkan ‘adl adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak.
Kata ( إ نّما ) innama digunakan untuk membatasi sesuatu. Disini kaum beriman dibatasi hakikat hubungan antara mareka persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan hubungan antar mereka kacuali persaudaraan itu. Kata innama biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal yang demikian itu adanya dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik. Penggunaan kata innama dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan antara sesama mukmin ini, mengisyaratkan ahwa sebenarnya semua pihak telah mengetahui secara pasti bahwa kaum beriman bersaudara, sehingga semestinya tidak terjadi dari pihak mana pun hal-hal yang menganggu persaudaraan itu.
Kata ( إخوة ) ikhwah adalah bentuk jamak dari kata ( أخ ) akh, yang dalm kamus-kamus bahasa sering kali diterjemahkan saudara atau sahabat. Kata ini pada mulanya berarti yang sama. Persamaan dalam garis keturunan mengakibatkan persaudaraan, demikian juga persamaan dalm sifat atau bentuk apapun. Persamaan kelakuan pemboros dengan setan, menjadiakan pemboros adalah saudara-saudara setan (baca QS. Al-isra’ [17]: 27). Persamaan dalam kesukuan atau kebangsan pun mengakibatkan persaudaraa (baca QS. Al-A’raf [7]: 65). Dan juga persaudaraan kerena persamaan kemakhlukan, seperti ketika Nabi Muhammad saw. Menamakan jin adalah saudara-saudara manusia. Beliau melarang menjadikan tulang sebagai alat beristinja’ karena itu adalah makanan-makanan saudara-saudara kamu dari jeis jin. Demikin sabda beliau.
Kata ( أخ ) akh yang berbentuk tunggal itu, biasa juga dijamak dengan kata ikhwan. Bentuk jamak ini biasanya menunjukan kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda dengan kata ikhwah yang hanyan terulang tujuh kali dalam al Qur’an, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan seketurunan, kecuali ayat al Hujurat diatas. Hal ini agaknya untuk mengisaratkan ahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim, adalah persaudarann yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman, dan kali kedua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demikian tidak ada alasan untuk memutuskan huungan persaudaraan itu. Ini lebih-lebih lagi jika masih direkat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib dan sepenang-gungan.
Ayat diatas mengisaratkan dengan sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan, serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka, yang pada puncaknya dapat melahirkan pertumpahan darah dan perang saudara sebagaimana difahami dari kata qital yang puncakya adalah peperangan.
Allah swt. Berfirman bahwa jika ada dua golongan orang mukmin berperang, hendaklah didamaikan. Jika salah satu di antara golongan itu berbuat aniaya dan mendzalimi golongan yang lain, maka perangilah golongan yang dzalim berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kepadaa perintah Allah dan meghentikan kedzaliman dan penganiayaan-nya.dan jika mereka telah menyadari akan kesalahannya da kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah kedua golongan itu dengan adil, karena sesungguhnya Allah menyukai oang-orang yang berlaku adil. Dan sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah sesaudara, maka hendaklah di damaikan antara dua saudara sesama mukmin jika mereka berselisih, bertengkar, atau berkelahi. Dan bertakwalah kepaada Allah, agar dengan takwa itu kamu memperoleh rahmat-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(11)
Artinya:
11. Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang alim.
Kata (  يسخر) yaskhar/ mengolok-olokkan yaitu menyebut kekurangan pihak laindengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah laku.
Kata ( قوم ) qaum biasa digunakan untuk menunjuk kelompok laki-laki saja, karena aayat di atas menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita dapat saja masuk dalam pengertian qaum. Bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mukminun dapat saja tercakup di dalamnya al-mukminat/ wanita-wanita mukminah. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata ( نساء ) nisa’/ perempuan karena ejekan dan merumpi lebih banyak terjadi dikalangan perempuan di bandingan kalangan laki-laki.
Kata ( تلمزوا ) talmizu terambil dari kata (اللمز ) al-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Ibn ‘Asyur misalnya memahaminya dalam arti dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu bentuk kekurangajaran dan penganiayannya.
Kata تنابزوا ) ( tanabaza teramil dari kata(النبذ)  an-Nabz yakni gelar buruk. At-tabuz adalah salaing memberi gelar yag buruk. Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal balik, berbeda dengn larangan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja kerena at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terngan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini megundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk, sehingga terjadi tanabuz.
Kata (  الإ سم) al isim yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian ayat diatas bagikan menyatakan: “seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sebutan yang mengndug makna kefasikan ertentangan dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti:seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandarkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.” Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan  si pembobol bank atau pencuri dan lain-lain.
Allah swt berfirman melarang hamba-hamba Nya orang-orang mukmin saling mengolok-olokkan, hina menghina dan cela mencela. Jaganlah suatu kaum di antaramu mengolok-olokkan, menghina dan menganggap rendah kaum yang lain, karena kemungkinn kamu yang dihina dan diperolokkan itu lebih baik dari pada kaum yang megolok-olok, dan belum tentu bahwa yang mengolok-olok itu lebih baik dari pada orang yang diolok-olok.
Denikian pula diantara wanita-wanita yang beriman janganlah sekali-kali berolok-olok dan saling menghina di antara sesama wanita mukmin. Allah swt melarang juga dalam ayat ini mencela diri sendiri dengan mencela sesama saudara mukmin. Dan juga janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar buruk yang tidak digunakan dalam panggilan-panggilan di waktu jahiliyah, yang masih digunkan juga sesudah orang beriman. Dan barag siapa tidak bertobat, maka ia termasuk orang-orang yang dzolim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ(12)
Artinya:
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian  kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Kata    ( إجتنبوا ) ijtanabu terambil dari kata (جنب) janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata terseut diartikan jauhi. Penamahan huruf (ت) ta pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan kata ijtanabu berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk meng-hindari prasangka buruk.
Kata (كثيرا) katsir(an) / banyak bukan berarti kebanyakan sebagaiman difahami atau diterjemahkan sementara penerjemah. Tiga dari sepuluh adalah banyak, dan enam dari sepuluh adalah kebanyakan. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula bukan dosa. Yang bukan dosa adalah indikatornya demikian jelas, sedang dugaan yang dosa adal dugaan yang tidak memiliki indikator yang dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang diharamkan, baik dalam betuk ucapan maupun perbuatan. Termasuk juga dugaan yang bukan dosa adalah rincian hukum-hukum keagamaan. Pada umumnya kata lain kebanyakan dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat dugaan zhanniy, dan tentu saja apa yang berdasarkan dugaan hasilnya pun dugaan.   
Ayat ini menegaskan jalinan lain pada masyarakat yang utama lagi mulia ini seputar kemuliaan individu, kehormatannya, dan kebebasannya sambil mendidik manusia dengan ungkapan yang menyentuh dan menajubkan tentang cara membersihkan perasaan dan kalbunya. Ayat di atas juga menegaskan bahwa segian dugaan adalh dosa yakni dugaan yng tidak mempuyai dasar yang kuat. Bisanya dugaan yang tidak mempunyai dasar dan bisa mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Ini berarti ayat di atas melarang melakukan dugaan uruk yang tanpa dasar, karena ia dapat menjerumuskan seseorang kedalam dosa.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(13)
Artinya:
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kata  (شعوب)syu’ub adalah bentuk jamak daari kata (شعب) sya’b. Kata ini biasa digunakan untuk menunjukan kumpulan dari sekian (قبيله)   qabilah yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek qabilah/suku pun terdiri dari  sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai (عماره) ‘imarah, dan yang ini terdiri lagi sekian banyak kelompok yang dinamai (بطن) bathn. Dibawah bathn ada sekian (فخذ) fakhdz hingga akhirnya sampi pada himpunan keluarga yang terkecil. Terlihaat dari penggunaan kata syabbahwa ia bukan menunjuk kepada pengertian bangsa sabagaimana dipahami dewsa ini.
Kata (تعارفوا) ta’arafu terambil dari kata (عرف) ‘arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik, denga demikian ia berarti salin mengenal. Kata أكرمكم)) akramakum terambil dari kata كرم ) ) karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesama makhluk.
Penutup pada ayat ini ( إنّ الله عليم خبير ) inna Allah ‘Alim(un) khabir/sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal yakni menggambung dua sifat Allah yang bermakna mirip itu, hanya ditemukan tiga kali dalam Al-Quran. Konteks ketiganya adalah pada hal-hal yang mustahil, atau amat sangat sulit diketahui manusia.
Allah swt berfirman bahwasanya dia telah menciptakan manusia dari seorang laki-laki, ialah Adam dan seorang perempuan ialah Hawa. Kemudian menjadikan umat manusia berpecah-pecah menjadi bangsa-bangsa dan dari bangsa berpecah menjadi suku-suku, dengan demikian supaya mereka saling mengeal. Dan sesungguhnya umat manusia itu adalah sama dihadapan Allah, tiada suatu bangsa mempunyai kelebihn dengan yang lain, semuanya adalah sama-sama anak cucu Adam. Dan yang paling mulia disisi Tuhan adalah yang palik bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Menegnal.
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (14)
Artinya:
14. Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Kata (لماّ) lamma digunakan untuk menfikan sesuatu pada saat pengucapannya, tetapi diharapkan apa yang dinafikan itu akan terjadi pada masa datang. Karena itu ayat di atas mengisyaratkan bahwa kendati sekarang mereka beum beriman secara mantap, namun dimasa datang mereka akan beriman dengan baik.
Kata (يلتكم) yalitkum terambil dari kata (لات) lata yang berarti kurang kata ini berbentuk tunggal, walau kata sebelumnya berbentuk dual yakni Allah dan Rasul-Nya. Ia berbentuk menyangkut ganjaran dan siksa hanya Allah swt, seata-mata Rasul saw tidak memiliki wewenang sedikitpun dalam hal ini.
Ayat ini dijadikan dasar oleh sementara ulama untuk menunjukan perbedaan antara islam da iman. Islam adalah sesuatu yang bersemai didalam hati, menyangkut apa yang disampaikan oleh Nabi saw, sedangkan iman merupakan sesuatu yang nampak pada ucapan dan perbuatan. Islam dalah ketundukn lidah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat serta ketundukan anggota tubuh dengan mengamalkan perintah Allah , baik ucapan dan pegamalan itu sesuai dengan isi hati maupun tidak. Siapa yang telah mengucapkan dua klimat syahadat, maka ia secara lahiriah telah dinamai  muslim dan memperoleh hak-haknya untuk hidup damai didunia ini.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ(15) قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم(16)
            Artinya:
15. Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.
16. Katakanlah (kepada mereka): "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Ayat ini menjelaskan siapa yang benar-benar sempurna imannya. Allah berfirman: sesungguhnya orang-orang mukmin yang sempurna imannya hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah yang meyakini semua sifat-sifatnya dan menyaksikan kebenara Rasul-Nya dalam segala apa yang disampaikannya kemudia walau berlanjut masa yang berkepanjangan, hati mereka tidk disentuh oleh ragu walau mereka mengalami aneka ujian dan bencana dan disampig sifat batiniah itu mereka juga membuktikan kebenaraan dengan iman mereka melalui berjihad yakni berjuang membela kebenaran dengan mengorbankan hati dan jiwa merea pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar dalam ucapan dan perbuatan mereka.
يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلإيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(17) إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ(18)
Artinya:
17. Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar".
18. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.  
Pengakuan orang-orang Badui yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw bertujuan menyebut-nyebut jasa mereka dengan dalih bahwa mereka telah beriman dan mengikuti Nabi saw. Ayat diatas meluruskan anggapan itu dengan mengatakan bahwa: mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu wahai Nabi Muhammad dengan keislaman yakni penyerahan mereka. Katakanlah: janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kamu, sebaba manfaat keislman itu bukan kepadaku tetapi kepada diri kamu sendiri dan sebenarnya Allah yang senantiasa melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki yakni menjelaskan menganugerahkan kamu kemampuan menuju kepada keimanan jika memang kamu adalah orang-orang yang benar dalam uacapan kamu bahwa kamu telah beriman.”sesungguhnya Allah senantiasa mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dn Allah Maha Melihat apa yang kamu Senantiasa kerjakan.