Minggu, 27 Maret 2016

madrasah nidhomiyah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Berdirinya Madrasah Nidzamiyah
Madrasah merupakan isim makan dari fi’il madhi dari darasa, mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran.[1] Madrasah selalu dikaitkan dengan nama Nidzam Al-Mulk (w. 485 H/1092 M), salah seorang wazir Dinasti saljuk sejak sejak ia mendirikan Madrasah Nidzamiyah di Bagdad. Walaupun ia bukan orang pertama yang mendirikan madrasah tetapi ia sangat berjasa dalam mempopulerkan pendidikn madrasah.[2]
Madrasah Nizhamiyah di bagdad terletak di deka sungai Dijlah di tengah-tengah pasar Salasah (Suq as-Salasah)di bagdad. Mulai di bangun pada tahun 459 H. Ahmad syalbi berkeyakinan bahwa pasar Al-Chaffafin yang terdapat di bagdad saat ini adalah tempa dimana Madrasah Nizhamiyah dulunya berdiri. 
Menurut Muhmud Yunus, diantara motivasi pendirian banyak madrasah di masa pengaruh Turki (saljuk) adalah untuk mengambil hati rakyat, mengharap dan ampunan dari Allah, memelihara kehidupan anak-anaknya di kemudian hari, memeperkuat aliran keagamaan bagi sultan atau pejabat. Motif-motif ini, terutama motif politik dan motif doktrin keagamaan tampak dominan pada madrasah Nizhamiyah. Keterangan yang mendukung hal tersebut adalah sebagai berikut:      
Pertama, kemenangan Ahlussunah terdap Syi’ah yaitu terjadinya penaklukan Bani Saljuk terhadap Dinasti Buwaihi di Irak dan mereka berhasil masuk ke Baghdad pada tanggal 25 Muharram 447 H. Penguasa Saljuk yang seorang pengikut fanatik sunni menginginkan terkikisnya paham aqidah syi’ah. Kedua,melestarikan kekuatan politik dan paham teologi Asy’ariyah. Karena jika  Dinasti Saljuk dihadapkan dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir yang beraliran Syi’ah, Sunni menyadari untuk melawan Syi’ah tidak cukup hanya dengan kekuatan melainkan harus melalui penanaman dan pemahaman ideologi yang bisa melawan ideologi Syi’ah.  Karena Syi’ah sangat aktif dan sistematik dalam melakukan pendoktrinan melalui pendidikan atau aktivitas pemikiran lain. Ketiga, Salah satu kebijakan politik pemerintahan dan penguasa Saljuk untuk mempertahankan kekuasannya dengan mengambil simpati rakyat.[3]
B.     Sistem Pendidikan Madrasah Nizhamiyah Baghdad
1.      Tujuan Pendidikan Madrasah Nizhamiyah
Madrasah Nizhamiyah memiliki beberapa tujuan pokok antara lain:
a.       Mengkader calon-calon ulama dan birokrat yang berwawasan untuk menyebarkan pemikiran sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran aqidah Syi’ah.
b.      Menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan Madzhab Sunni dan menyebarkan ketempat lain.
c.       Membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
d.      Membangun sistem madrasah yang baik dan berprestasi.
e.       Mendukung Madzhab Syafi’i dan teologi Asy’ariyah menolak sisi-sisi ekstrim dari pemikiran lain dan mengambil jalan tengah dalam soal keagamaan.[4]
Dengan berdirinya madrasah, maka pendidikan Islam memasuki periode baru yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi negara, dan sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik.
2.      Kurikulum, Materi dan Sistem Pengajaran Madrasah Nizhamiyah
Kurikulum Madrasah Nizhamiyah terfokuskan pada Ilmu-ilmu syari’ah, seperti Alqur’an (membaca, menghafal dan menulis), ilmu kalam, ilmu fiqh, sastra arab, sejarah Nabi Muhammad SAW, dan berhitung yang menitikberatkan pada Madzhab Syafi’I dan teologi Asy’ariyah. Karena Madrasah Nizhamiyah meng-konsentrasikan pada pengajaran Ulum Al-syariah dan Ushuluddin yang telah ditetapkan padanya, kekurangannya adalah Madrasah Nizhamiyah mengabaikan ilmu terapan yang praktis (A-ulum Al-tatbiqiyah Al-amaliyah).
Sistem pengajaran Madrasah Nizhamiyah ini berjalan dengan cara para guru berdiri didepan kelas menyajikan materi-materi kuliah (ceramah talqin), sementara para siswa duduk mendengarkan ditempat yang telah disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialog atau diskusi Antara guru dan siswa mengenai materi yang diberikan gurunya dalam suasana semangat keilmuan yang tinggi. Menurut pendapat lain, guru menjelaskan dalam satu silabus yang disebut ta’liqah. Silabus ini disusun oleh masing-masing pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya selagi menjadi mahasiswa, bacannya, dan kesimpulan pribadi tentang tema yang terkait, sedangkan mahasiswa menyalin ta’liqah dengan dikte.[5]
Rencana pengajarannya tidak diketahui dengan tegas. Menurut bukti-bukti di bawah ini rencana pengajarannya hanya ilmu-ilmu syari’ah saja dan tak ada ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Buktinya sebagai berikut:
a.              Tak ada seorang di antara para ahli sejarah yang mengatakan bahwa diantara mata pelajarannya ada ilmu kedokteran, ilmu falak, dan ilmu pasti. Mereka hanya menyebutkan, bahwa diantar mata pelajarannya ialah nahu, ilmu kalam, dan fiqih.
b.             Guru-guru yang mengajar di Madrasah Nizhamiyah itu adalah ulama-ulama syari’ah sehingga madrasah adalah madrasah Syari’ah, bukan madrasah filsafat.
c.              Pendiri Madrasah Nizhamiyah itu buanlah orang yang membela ilmu filsafat, melainkan dan bukan pula orang membantu pembebasan filsafat.
d.             Zaman berdirinya Madrasah Nizhamiyah, bukanlah zaman filsafat, melainkan zaman menindas filsafat serta orang-orang filsuf.[6]
Dalam kaitan dengan kurikulum pengajaran, bisa dipastikan kalau disiplin fiqh dan ushûl al-fiqh, menjadi salah satu mata kajian yang harus ditempuh dengan mengambil corak pemahaman Asy’ariyyah sebagai label dari pengajaran yang terdapat pada madrasah ini. Bagaimanapun harus diakui bahwa pengajar pada madrasah ini merupakan penganut Asy’arisme, umpamanya Imam al- Haramain Abu al-Ma’ali Yusuf al-Juwaini (w.478 H/1084 M) dan Abd al-Hamid al-Ghazali (w.505 H/ 1111 M).[7]
Sementara itu, Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum Madrasah Nizhamiyah tidak diketahui dengan jelas. Namun dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syari’ah diajarkan di sini sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Fakta-fakta yang mendukung pernyataan ini adalah; pertama, tidak ada seorangpun di antara ahli sejarah yang mengatakan bahwa di antara materi pelajaran terdapat ilmu-ilmu umum. Kedua, guru-guru yang mengajar di Madrasah Nizhamiyah merupakan ulama’-ulama’ syari’ah. Ketiga, pendiri madrasah ini bukanlah pembela ilmu filsafat. Keempat, zaman berdirinya madrasah ini merupakan zaman penindasan ilmu filsafat dan para filosof.[8]
3.      Tenaga Pengajar Dan Pelajar Madrasah Nizhamiyah Bagdad
C.     Pendanaan dan Sarana Madrasah Nizhamiyah
Sumber dana yang paling lazim bagi pembagunan madrasah adalah lembaga wakaf, sebuah cara tradisonal dalam Islam untuk mendukung lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat umum. Menyumbangkan materi (zakat) yang diperuntukan bagi mustahiq dan bagi pengembangan Islam merupakan bagian dari rukun islam.
Dalam pembangunan madrasah, wazir Nizam Al-Mulk menyediakan dan wakaf untuk membiayai mudarris, imam, dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama. Dengan dana itu, ia mendirikan madrasah-madrasah Nizamiyah dihampir seluruh wilayah kekuasaan Bani Saljuk saat itu, mendirikan perpustakaan dengan lebih kurang 6.000 jilid buku lengkap dengan katalognya, lalu menetapkan anggaran belanja seluruh madrasah-madrasah itu sebesar 600.000 dinar. Kemudian Madrasah Nizamiyah Baghdad saja sepersepuluh, yaitu 60.000 dinar tiap tahun. Ini sudah cukup untuk membiayai berbagai fasilitas yang disediakan untuk pelajar dan pengajar, baik berupa akomodasi, uang makan dan tunjangan.

D.    Pengaruh Madrasah Nizhamiyah
Menurut A.L. Tibawi dalam buku karya (Abuddin Nata, 2004: 72): Madrasah Nizhamiyah telah banyak memberikan pengaruh terhadap masyarakat, baik bidang politik, ekonomi, maupun bidang social keagamaan.
Nizam Al-Mulk dalam kaitan ini dikenal sebagai pejabat pemerintah yang memiliki andil besar dalam pendirian dan penyebaran madrasah, kedudukan dan kepentingannya dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menetukan juga.
Dalam bidang ekonomi, Madrasah Nizhamiyah disamping sebagai lembaga untuk mengajarkan ilmu syari’ah dalam rangka mengajarkan ajaran Sunni, memang dimaksudkan pula untuk mempersiapkan pegawai pemerintah, khususnya dilapangan hukum dan pemerintah. Dengan demikian, Madrasah telah menjanjikan lapangan kerja. Dari segi social keagamaan, Madrasah Nizhamiyah diterima oleh masyarakat karena sesuai dengan linhkungan dan keyakinannya. Faktor-faktor penerimaan tersebut antara lain: pertama, ajaran yang diberikan di madrasah nidzamiyah adalah ajaran sunni, yang dianut sebagian besar masyarakat waktu itu. Kedua, para pengajar di madrasah nidzamiyah adalah para ulama yang terkemuka. Ketiga, materi pokok yang diajarkan dari madrasah ini adalah al-fiqh yang dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat umumya ajaran dan keyakinan mereka.   



[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik Dan Pertengahan, (Pt Raja Grafindo, Jakarta 2012) 50
[2] Ibid, 60
[3] Abduddin nata, sejarah pendidikan islam, 63-64
[4] Ibid, 65-66
[5] Abuddin Nata, sejarah pendidikan islam, 66-69
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1992) 74

[7] Ibid, 66-67
[8] Abuddin nata, sejarah pendidikan islam, 67

kewajiban seorang anak terhadap orang tua



Hadits dan Terjemah
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ وَقَالَ ابْنُ شُبْرُمَةَ وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ مِثْلَهُ[1]
(BUKHARI - 5514) : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Jarir dari 'Umarah bin Al Qa'qa' bin Syubrumah dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil berkata; "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?" beliau menjawab: "Ibumu." Dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" beliau menjawab: "Ibumu." Dia bertanya lagi; "kemudian siapa lagi?" beliau menjawab: "Ibumu." Dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" dia menjawab: "Kemudian ayahmu." Ibnu Syubrumah dan Yahya bin Ayyub berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Zur'ah hadits seperti di atas”.
A.    Pendahuluan
1. Latar belakang
             Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban setiap anak. Sebagaimana ridha Allah Swt. Pada ridhanya orang tua. Apabila Hari Kiamat datang, siapa pun yang telah menunaikan ibadah shalat, puasa, zakat, maupun haji, tetapi ia menyakiti orangtuanya, maka perbuatannya ini telah menghapuskan pahala ibadah tersebut.
             Berbuat baik kepada orang tua, bersikap baik kepadanya serta melakukan hal-hal yang dapat membuatnya bahagia merupakan kewajiban bagi seorang anak.[2] Jika berakti kepada orang tua merupakan suatu hal yang wajib bagi seorang anak, maka durhaka kepadanya termasuk dos besar setelah syirik.[3] Dari sinilah makalah ini di buat untuk membahas tentang kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya.
2. Rumusan masalah
a.       Bagaimana kewajiban seorang anak terhadap orang tua?
b.      Apa balasan bagi anak yang durhaka kepada orang tua?
            
B.     Pembahasan
1. Informasi tentang sanad hadits
Dalam kutubu tis’ah penulis melacak hadits yang berkaitan dengan kewajiban seorang anak terhadap orang tua, salah satunya adalah hadis tentang kehormatan terhadap ibu, dan hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, berikut adalah jalur sanadnya:
JALUR SANAD
1.      Nama Lengkap : Abdur Rahman bin Shakhr
Kalangan : Shahabat
Kuniyah : Abu Hurairah
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 57 H
2.      Nama Lengkap : Abu Zur'ah bin 'Amru bin Jarir bin 'Abdullah
Kalangan : Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu Zur'ah
Negeri semasa hidup : Kufah
3.      Nama Lengkap : Umarah bin Al Qa'qa' bin Syubrumah

Kalangan : Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
Negeri semasa hidup : Kufah
4.      Nama Lengkap : Jarir bin 'Abdul Hamid bin Qarth
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu 'Abdullah
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 188 H
5.      Nama Lengkap : Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin 'Abdullah
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah : Abu Raja'
Negeri semasa hidup : Himsh
Wafat : 240 H
2.      Asbabul Wurud Hadis:
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah: Seorang laki-laki datang kepada Nabi lalu bertanya: Siapakah yang berhak aku pergauli dengan baik (yang paling berhak aku berakti kepadanya)? Nabi menjawab dengan hadis terseut di atas: beliau menjawab ibumu!, ia bertanya pula, kemudian siapa lagi?, beliau menjawab ibumu! Ia bertanya pula, kemudian siapa lagi?, beliau menjawab ibumu! Ia bertanya kembali kemudian siapa lagi?, beliau menjawab Bapakmu (ayahmu).[4]  
3.      Informasi tentang matan hadits
Langkah pertama penelitian matan adalah meneliti matan berdasarkan sanadnya. Setelah penulis teliti, dapat diketahui bahwa sanad hadits diatas adalah bernilai shahih karena periwayat hadits memenuhi kriteria ke-shahih-an suatu hadits dari segi sanad. Kriteria tersebut antara lain ketersambungan sanad, dlabit,’ adil, tidak ada syadz dan ‘illat.
Ketersambungan sanad hadits diatas bisa dilihat pada kritik sanad, yang mana menunjukkan adanya ketersambungan periwayatan perawi karena ada hubungan guru dan murid dan tempat tinggal mereka yang sama atau berdekatan yang mungkin untuk dijangkau.
Dengan demikian, seluruh sanad hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhāri tersebut dinyatakan muttashil. Kenyataan tersebut ditambah dengan kapasitas pribadi beliau dinilai positif dan dapat melaksanakan kegiatan proses periwayatan hadits
Penelitian terhadap syadz dan ‘illat dengan sendirinya tidak ada sebagai akibat periwayat dinilai bisa dipercaya. Oleh karena itu, sudah dapat dijelaskan bahwa sanad hadits tersebut terhindar dari syadz dan ‘illat.
Langkah kedua adalah meneliti susunan lafal matan hadits. Terhadap susunan lafal dari berbagai hadits dari hadits di atas tersebut tidak terdapat perbedaan matan hadits, pada hadits di atas lafal yang digunakan Imam Bukhāri terdapat dua hadits, Nasa’i satu hadits,  dan at-Tirmidzi satu hadits. Baru terdapat perbedaan susunan lafal matan hadits yang digunakan oleh  Imam Ahmad, tetapi kandungan maknanya tidak ada perbedan. Imam Ahmad menggunakan hadits tersebut ada enam hadits.
4.      Fiqhul Hadits
Di dalam ajaran islam, kewajiban ditempatkan sebagai salah satu hukum syara’ yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan mendapatkan siksa. Dengan kata lain bahwa kewajiban dalam agama berkaitan dengan pelaksanaan hal yang diwajibkan oleh Allah.[5]
Menghormati dan menghargai serta berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang harus dipatuhi, karea begitu besar jasa dan pengorbanan kedua orang tua, sampai Allah berwasiat kepada semua umat manusia untuk berbuat baik kepada keduanya terlebih pada ibu.[6] Ayah dan ibu merupakan sebab adanya manusia ini. Andaikata bukan karena jerih payah mereka berdua, tentu manusia ini tidak bisa hidup mapan. Andaikata tidak ada kesengsaraan mereka berdua, pasti manusia ini tidak merasakan kesenangan.[7]
Mengenai ibu, dia telah mengandung dengan rasa susah payah, begitu pula waktu melahirkan. Sedangkan ayah, dia telah  mencurahkan semua kemampuannya dalam mencapai kebaikannya untuk perawatan badan dan jiwa anaknya. Oleh sebab itu anak harus selalu mengingat jasa baik kedua orangtuanya, agar bis berterimakasih kepada mereka atas jasanya. Mematuhi perintahnya, kecuali jika diperintah maksiat.[8] Berbuat baik kepada orang tua memiliki kedudukan yang amat tinggi dan mulia betapa pentingnya berbuat baik kepada orang tua ini adalah karena perintah ini terletak setelah perintah menyembah Allah.[9]
Nabi mengutuk perbuatan durhaka kepada orag tua dan memerikan motifasi serta memerintahkan umatnya untuk berbakti kepada orang tua, karena ridha Allah berda pada ridha kedua orang tua dan kemarahan Allah tertletak pada kemarahan orang tua.[10]  Nabi bersada:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
Dari Abdullah bin Amr radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Ridha Allah terdapat pada ridha seorang ayah, dan murka Allah juga terdapat pada murkanya seorang ayah."[11]
Ridha Allah merupakan puncak pencarian dari seorang hamba yang mengabdi kepadanya. Beramal shaleh untuk mengharapkan balasan kebijakan dari Allah tidaklah salah, demikian pula berbakti kepadanya untuk mendambakan surganya juga bukan tindakan keliru , akan tetapi tunduk dan patuh kepada Allah untuk megharapkan ridhanya itulah sesungguhnya merupakan tingkat tertinggi dari penghambaan seseorang, karena pada hakekatnya tidak ada penghambaan yang melmpaui kebahagiaan orang tua yang mendapatkn ridha Allah, sebagaimana tidak ada kesedihan dan penderitaaan yang melapaui kesedihan serta penderitaan seseorang yang mendapatkan murka Allah.[12]
Sedangkan Nabi bersabda bahwa ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan demikian pula murkanya. Ungkapan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada umtnya bahwa tidak ada alasan bagi seorang anak mausia untuk tidak taat dan patuh kepada kedua orangtuanya selama kedua  oragtuanya tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.[13]
Jika bapak termasuk ahli maksiat di bumi ini serta memaksa anaknya untuk ikut dalam maksiat tersebut, maka anak tidak wajib taat ketika itu. Demikian halnya jika menginginkan anaknya memantu dalam maksiat tersebut dan dalam memperpanjang keburukan, anak tak perlu taat kepanya. Hanya saja dalam menolak keinginan dan perintah bapak anak mesti bijksana dan dengan cara yang lebih baik kepada bapaknya.[14] 
      Sebagai gambaran dari betapa seorang anak wajib tunduk patuh kepada kepada kedua orang tuanya itu, sebuah riwayat mengatakan bahwa seseorang meminta ijin kepada Nabi ikut berjihad, lalu nabi bertanya adakah orang tuamu masih hidup? Orang tadi menjawab: masih ya Rasulullah, maka Nabi menjawab: berbaktilah kepada keduanya maka engkau telah berjihad. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa seorang Yaman pergi berjihad kepada Nabi saw. Lalu berkata kepada Nabi: wahai Rasulullah saya telah berjihrah. Nabi bersabda: apakah engkau punya keluarga di Yaman? Orang itu menjawab: kedua orangtua ku. Nabi bertanya: apakah keduanya megijinkanmu? Dia: berkata: tidak. Nabi bersabda: kembalilah dan mintalah ijin kepada keduanya.[15]
      حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ وَشُعْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا حَبِيبٌ قَالَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُجَاهِدُ قَالَ لَكَ أَبَوَانِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
            Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan dan Syu'bah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Habib dia berkata. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Habib dari Abu Al 'Abbas dari Abdullah bin 'Amru dia berkata; seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Saya hendak ikut berjihad." Beliau lalu bersabda: "Apakah kamu masih memiliki kedua orang tua?" dia menjawab; "Ya, masih." Beliau bersabda: "Kepada keduanya lah kamu berjihad”.[16]
            Dalam hadis ini, kedudukan berbuat baik kepada orang tua itu mendahului jihad di jalan Allah, yang menempati puncak tertinggi amal dalam islam. Dari uraian di atas dapat di artikan pula kedudukan berbuat baik kepada orangtua itu lebih tinggi daripada alam-amal diawah jihad di jalan Allah. Misalnya lebih tinggi daripada amal berpergian ini bukan wajib seperti untuk haji fardu misalnya. Sedangkan untuk haji sunnah atau umrah sunah maka berbuat baik kepada orang tua itu masih lebih tinggi darinya.[17] 
            Allah mengharamkan kedurhakaan terhadap kedua orang tua. Nabi bersabda:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فِرَاسٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ أَوْ قَالَ الْيَمِينُ الْغَمُوسُ شَكَّ شُعْبَةُ وَقَالَ مُعَاذٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ أَوْ قَالَ وَقَتْلُ النَّفْس
Artinya: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Firas dari Asy Sya'bi dari Abdullah bin Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Diantara dosa besar adalah, menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, -atau ia mengatakan - sumpah dusta." Syu'bah ragu kepastian redaksinya. Dan Mu'adz mengatakan telah menceritakan kepada kami Syu'bah mengatakan; Dosa besar ialah menyekutukan Allah, sumpah dusta, dan durhaka kepada orang tua. Atau ia mengatakan; dan membunuh orang.[18]
            Allah telah mengharamkan durhaka kepada kedua orang tua dan akan membalas dosa pelakunya selagi masih di dunia. Karena itu merupakan kewajiban anak utuk meghormati dan mentaati semua perintahnya selagi tidak melanggar ke tentuan ajaran agama. Dalam pandangan Allah kedua orang tua adalah orang yang pertama-tama wajib dihormati setelah pengapdian kepada Allah.[19]
            Berbaktilah wahai anak manusia terhadap kedua orang tua yang telah mengantarkan kalian hidup di dunia ini sebab tanpa kedua nya maka kita semua tidak akan pernah menikmati kehidupan di dunia. Anak yang durhaka kepada orang tuanya adalah anak yang mengingkari kenikmatan dari Allah, dan sekaligus mengingkari kebaikan keduanya, oleh karena itu Allah sangat tidak menyukainya sehiggan mempercepat balsan dosanya ketika masih di dunia, agar menjadi pelajarann baginya dan juga bagi yang lain bahwa durhaka kepada orag tua itu termasuk perbuatan yang sangat di benci Allah dan balasannya akan di berikan kotan di dunia.[20]

C.     Penutup
Kesimpulan
       Menghormati dan menghargai serta berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang harus dipatuhi, karea begitu besar jasa dan pengorbanan kedua orang tua, sampai Allah berwasiat kepada semua umat manusia untuk berbuat baik kepada keduanya terlebih pada ibu.
       Allah telah mengharmkan durhaka kepada kedua orang tua dan akan membalas dosa pelakunya selagi masih di dunia. Karena itu merupakan kewajiban anak utuk meghormati dan mentaati semua perintahnya selagi tidak melanggar ke tentuan ajaran agama. sehiggan mempercepat balsan dosanya ketika masih di dunia, agar menjadi pelajarann baginya dan juga bagi yang lain bahwa durhaka kepada orag tua itu termasuk perbuatan yang sangat di benci Allah dan balasannya akan di berikan kontan di dunia.  
      

 
            
 


[1] Kutubu Tis’ah, Siapa Yang Paling Berhak Digauli Dengan Baik Kitab Bukhari, Hadist No - 5514
[2] Juwariyah, Hadis Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2010) 16.
[3] Ibid., 28
[4] Suryani, Hadis Tarawi Analisis Paedagogis Hadis-Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2012) 107
[5] Abduddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012)  143.
[6] Juwariyah, Hadis Tarbawi, 17.
[7] M. Fadlil Sa’id An-Nadwi, Bekal Berharga Untuk Menjadi Anak Mulia (Pendidikan Moral Untuk Dasar), (Surabaya: Al-Hidayah, 1418 H) 21.
[8] Ibid., 22.
[9] Dadang Sobar, Fikih Berbakti Kepada Orangtua, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) 1.
[10] Juwariyah, Hadis Tarbawi, 17.
[11] Ibid.,18.
[12] Ibid., 18-19.
[13] Ibid., 19.
[14] Sobar, Fikih Berbakti Kepada Orang Tua, 97.
[15] Juwariyah, Hadis Tarbawi, 24-25.
[16] Kutubu Tis’ah, Tidak Berjihad Kecuali Seijin Kedua Orang Tua, Hadist Bukhari No - 5515
 
[17] Sobar, Fikih Berbakti Kepada Orang Tua, 3.
[18] Kutubu Tis’ah, Kitab Bukhari, Hadis No 6362
[19] Juwariyah, Hadis Tarbawi, 28.
[20] Ibid., 30-31